Ini adalah Kisah RasulAllah Muhammad SAW yang selama masa Hidupnya pernah mengalami masa kejayaan dan beliau adalah Seorang pebisnis Sukses. Beliau menjalani hidup sebagai pebisnis sukses selama 28 Tahun, mulai dari usia 12 tahun hingga 40 tahun. Dan selebihnya adalah masa keRasulan sebagai suri tauladan kita semua sebagai umat Muslim.
Semasa Mudanya RasulAllah ini Sudah berkenalan dengan Bisnis dari Usia Dini, Dimulai dari menggembala Kambing. Lalu Bisnisnya ke-Level yang lebih tinggi, Pada waktu itu Beliau masih berusia 12 Tahun dan Beliau di Ajak oleh pamannyaAbu Thalib untuk berdagang di Negeri Syam. Disitulah Awalannya Nabi Muhammad SAW mengenal Bisnis secara serius, dan Menjadi Enterprenur Sejati. Hingga beliau mendapat reputasi yang sangat baik bagi penduduk Negri tersebut. Reputasi-reputasinya adalah sebagai Orang yang Terpercaya (Al-Amin) di dalam Perdagangannya maupun di Kehidupan sehariannya. Pada usia 17 Tahun Nabi Muhammad SAW sudah di beri mandat penuh oleh pamannya untuk Berdagang dari dagangannya. Hingga usia 20 tahun beliau sudah hampir menguasai Pusat Bisnis Global di Jamannya. Kalo sekarang ( Irak, Yordania, Bahrain, Suriah, dan Yaman).
Mau, tau Rahasia-rahasia Bisnis Nabi Muhammad SAW yang Hebat Itu. Hingga sekarang Masih di Gunakan dengan Prinsip-prinsip Bisnis Modern di Dunia saat ini. Dan juga mengajarkan kita sebagai Umat Muslim untuk menjadi seorang Enterprenur Sejati dan Berakhlak Sebagai Makhluk Allah SWT. Dan menjauhkan Bisnis Kita hanya dari Keuntungan Semata (KAPITALISME).…
Ini Adalah Rahasia-rahasia berbisnis Ala Nabi Muhammad SAW :
Cara Berpikir dan BerEtika di dalam Bisnisnya
1. Jujur di dalam Bisnisnya, Kejuran adalah syarat fundamental dalam
berbisnis yang di lakukkan oleh RasullAllah Muhammad SAW. Beliau pernah melarang para pedagang untuk meletakkan barang Busuk/jelek di dalam dagangannya. dan beliau selalu memberikan barang sesuai dengan seadannya dan terbaik bagi Konsumennya.
2. Berprinsip pada nilai Illahi, Bisnis yang di lakukkan tidak terlepas dari pengawasan Tuhan. Dan menyadarkan manusia sebagai makluk Illahiyah (berTuhan).
3. Prinsip kebebasan Individu yang bertanggung Jawab, Bukan bisnis hasil dari Paksaan atau Riba. Yang menjerat kebebasan Individu.
4. Bertanggung Jawab, Bertanggung Jawab moral kepada Tuhan atas perilaku Bisnisnya maupun Orang lain/Partner Bisnisnya maupun Konsumennya.
5. Keadilan dan Keseimbangan, Keadilan dan keseimbangan sosial, bukan hanya keuntungan semata tetapi Kemitraan/bantu membantu di dalam bisnisnya (Win-Win-Solution)
6. Tidak hanya mengejar keuntungan, dan berorientasi untuk menolong orang lain, Atau WIN Win Solution.
7. Berniat baik di Bisnisnya, berniat baik adalah Aset Paling berharga oleh pelaku Bisnis selain untuk menjadi terbaik tapi bermanfaat bagi orang lain.
8. Berani mewujudkan Mimpi, RasullAllah dari seorang penggembala Kambing, berniat untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik lagi, menjadi pedagang, lalu Manager hingga beliau mewujudkan cita-citanya menjadi Owner (Pemilik perusahaan) dengan menikahi Siti Khadijah. Beliau adalah Enterprenur Cerdas.
9. Branding/Menjaga nama baik, RasullAllah selalu menggunakan cara ini sebagai Modal Utama, Track Record sebagai orang Terpercaya (Al Amin), Justru paling di cari dan siapapun ingin bekerja sama dengannya. Sifat inilah yang Sekarang Langka di Jaman ini.
Cara Merintis Bisnis
1. Fokus dan Konsentrasi, RasulAllah selalu Fokus terhadap bisnis yang beliau tekuni, Tidak mengerjakan bisnis yang satu ke satunya lagi sebelum beliau menyelesaikannya…
2. Mempunyai Goal dan rencana yang jelas
3. Merintis Bisnis Dari NOL, kesuksesan beliau tidak datang dalam satu malam walaupun seorang RasullAllah, tetapi harus dimulai dari langkah-langkah kecil. Dari seorang Karyawan/Salles hingga jadi Owner. Dan semua tanpa ada praktek KKN.
4. Tidak Mudah Putus Asa, beliau Berkata : Janganlah kamu berdua putus asa dari rizky selama kepalamu masih bergerak. Karena manusia dilahirkan ibunya dalam keadaan merahtidak mempunyai baju, Kemudian Allah SWT memberikan rizky kepadanya (HR.Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya)
5. Berusaha Menjadi Trend Center
6. Inovatif, Semua barang yang di Jual Rasul selalu berbeda dari kompetitornya, dengan harga murah tetapi Hight Quality.
7. Memahami kondisi dan analisa Pasar
8. Kemampuan merespon strategi Pesaingnya
9. Belajar menguasai pasar, Dikisahkan Ketika beliau di Mekkah para pedagang dari kaum Quraisy yang ingin menjatuhkan Bisnisnya, dengan menjatuhkan Harga dengan tidak Wajar. Tetapi beliau menerapkan Hukum Suply&Demand, beliau menyiasati dan bersabar. Hingga semua dagangan para Kompetitornya habis semua. Rasul baru Menjual Dagangannya karena Rasul Percaya kalau jumlah Permintaan (Demand) jauh lebih tinggi dari jumlah Penawaran (Supply) di Kota itu. Tak lama kemudian Rakyat Kota tersebut membeli Barang Dagangan Rasul dengan Harga Normal, ketika rombongan Pedagang itu pulang Mekkah gempar. Semua pedagang Rugi akibat banting harga kecuali Nabi Muhammad SAW yang untung besar. Itulah kejelian melihat, menganalisis, dan memahami Pasar. Hingga menguasai Pasar yang ada.
10. Mampu Memanagement Organisasi secara Efektif
11. Bisa menghilangkan Mental Blocking, Atau juga yang di sebut dengan Ketakutan yang Berlebihan dalam menghadapi kegagalan usaha. Rasul selalu bisa mengalahkan diri sendiri dari hal-hal Negatif (mujahadah).
12. Mampu menarik dan meyakinkan pemilik Modal untuk ikut serta dalam bisnis yang dilaksanakannya
Cara Menjalankan Bisnisnya
1. Bekerja Sama (bersinergi), Beliau bersabda “Keberkahan sesungguhnya berada dalam Jamaah. Dan, tangan Allah sesungguhnya bersama Jamaah”
2. Kerja Pintar, Kreatif dan Visioner
3. Menerapkan kesepakatan Win-Win-Solution (Saling menguntungkan, dan tidak ada yang dirugikan)
4. Bekerja dengan Prioritas
5. Tidak melakukan Monopoli
6. Selalu berusaha dan Tawakal
7. Tepat Waktu
8. Berani ambil Resiko
9. Tidak menimbun barang dagangan (ihtikar), Rasul melarang Keras pelaku Bisnis dan menyimpan barang pada massa tertentu, hanya untuk keuntungan semata. Rasul bersabda bahwa pedagang yang mau menjual barang dagangannya dengan spontan akan di beri kemudahan. Tapi penjual yang sering menimbun dagangannya akan mendapat kesusahan (Dalam HR Ibnu Majah dan Thusiy).
10. Profesional di Bisnis yang Di kelolannya
11. Selalu Bersyukur di Segala Kondisi
12. Berusaha dengan Mandiri, Tekun dan Tawakal
13. Menjaga nilai-nilai harga diri, kehormatan, dan kemuliaan dalam proses interaksi bisnis
14. Melakukan bisnis berdasarkan Cinta (Passion).
15. Tidak MenZhalimi (Merugikan Orang lain)
16. Rajin Bersedekah
Cara memasarkan Produk
1. Memasarkan Produk yang Halal dan Suci
2. Tidak melakukan Sumpah Palsu,
3. Tidak merpura-pura menawar dengan harga tinggi, Agar orang lain tertarik
4. Melakukan timbangan dengan benar
5. Tidak menjelekkan bisnis Orang lain, Beliau bersabda ” Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (HR. Muttafaq ‘alaih)
6. Pintar beriklan/Promosi, Rasul hafal betul dimana ada Bazaar di suatu tempat tertentu. Sehingga makin banyak orang mengenal beliau dan barang dagangannya.
7. Transparansi (keterbukaan), Beliau bersabda “Tidak dibenarkan seorang Muslimin menjual satu-satu jualannya yang mempunyai aib, sebelum dia menjelaskan aibnya” (HR. Al-Quzuwaini)
8. Mengutamakan pelanggan (Customer Satisfaction)
9. Networking (Jejaring) di wilayah lain
10. Cakap dalam berkomunikasi dan bernegosiasi (tabligh)
11. Tidak mengambil Untung yang berlebihan
12. Mengutamakan penawar pertama
13. Menawar dengan harga yang di inginkan
14. Melakukan perniagaan sepagi mungkin, RasulAllah mendoakan orang-orang yang pagi-pagi dalam bekerja. “Ya Allah, berkahilah umatku dalam berpagi-paginya mereka” (HR.Shahr Al Ghamidi)
15. Menjaga Kepercayaan pelanggan
16. Mewujudkan Win-Win Solution
17. Barang Niaga harus bermutu, Murah, Bermanfaat, Mutakhir dan Berkualitas
18. Kemudahan dalam hal transaksi dan pelayanan
19. Menentukan Harga dengan jelas ketika akad (Deal)
Cara berhubungan dengan Karyawan
1. Berbagi perhatian kepada karyawan, Tidak memilih-milih karyawan Istimewa semua sama.
2. Bermitra Bisnis, Karyawan dan Majikan seperti hubungan kekeluargan yang kental. Bukan seperti Tuan dan Budak.
3. Memberi gaji yang Cukup kepada Karyawannya
4. Memberi gaji tepat Waktu kepada Karyawannya, Sebelum keringat karyawan kering
5. Tidak membebani Karyawan dengan tugas diluar kemampuannya
6. Karyawan di Wajibkan kerja sungguh-sungguh dengan seluruh kekuatannya
7. Sering memberikan Bonus-bonus tambahan di luar gaji pokok
Contoh di Atas adalah sebagian kecil dari sifat-sifat Suri tauladan Rasul Allah Muhammad SAW yang bisa kita Contoh dalam membangun Kerajaan Bisnis Kita, jauh lebih Sukses, berakhlak dan membantu terhadap sesamanya.
Kunjungi Juga fzdrama :: Drama Edition
(fzpoint versi drama)
Rincian, Sinopsis, Pemain dan info lainnya dari Drama Televisi.
Kunjungi Juga fzpoint :: The Indonesian Blog
(fzpoint versi drama)
Rincian, Sinopsis, Pemain dan info lainnya dari Drama Televisi.
Kunjungi Juga fzpoint :: The Indonesian Blog
Jangan lupa tinggalkan Komentar anda.
Sabtu, 18 September 2010
Rabu, 15 September 2010
Ane Cowo dan Ane Menangis gan
agan -agan mohon disimak ya
ane cuman mau sekedar curhat gan tentang kisah hidup ane ..
langsung aja gan ke persoalan nya ..
waktu jam 11 pagi tadi gan ane baru pulang kerja dan langsung ke rumah gan, karna kerja ane di server ane jadi nginep terus gan ..
pas ane pulang ane duduk di deket ibu ane gan, karna ane ngantuk ane tidur aja di pangkuan nya, manja dikit gan
ibu ane ngomong gini gan "kamu tuh harta paling berharga buat ibu, walau ibu gak punya apa-apa tapi ibu punya kamu yaitu harta yang sangat berharga bagi ibu" dengan penuh rasa haru ane hanya bisa terdiam gan di pangkuan ibu ane, ketika itu pula air mata ane menetes gan ..
ane sangat terharu gan ibu ane ngomong gitu, ane jadi semangat harus bisa sukses dan bahagiain kedua ortu ane terutama ibunda ane tercinta gan ..
ini sekedar cerita gan, pada agan-agan sekalian sayangilah ibu nya karna tak ada yang bisa nge gantiin ibu gan, sayangi dia sepenuh hati, selagi agan bisa ..
maaf gan ini cuman curhatan hidup ane, ane gak ngarep
ataupun
ane cuman mau sekedar curhat gan tentang kisah hidup ane ..
langsung aja gan ke persoalan nya ..
waktu jam 11 pagi tadi gan ane baru pulang kerja dan langsung ke rumah gan, karna kerja ane di server ane jadi nginep terus gan ..
pas ane pulang ane duduk di deket ibu ane gan, karna ane ngantuk ane tidur aja di pangkuan nya, manja dikit gan
ibu ane ngomong gini gan "kamu tuh harta paling berharga buat ibu, walau ibu gak punya apa-apa tapi ibu punya kamu yaitu harta yang sangat berharga bagi ibu" dengan penuh rasa haru ane hanya bisa terdiam gan di pangkuan ibu ane, ketika itu pula air mata ane menetes gan ..
ane sangat terharu gan ibu ane ngomong gitu, ane jadi semangat harus bisa sukses dan bahagiain kedua ortu ane terutama ibunda ane tercinta gan ..
ini sekedar cerita gan, pada agan-agan sekalian sayangilah ibu nya karna tak ada yang bisa nge gantiin ibu gan, sayangi dia sepenuh hati, selagi agan bisa ..
maaf gan ini cuman curhatan hidup ane, ane gak ngarep
ataupun
I LOVE YOU MOM
Label:
Cerita Mengharukan,
curhat,
Kaskus
Selasa, 14 September 2010
Ku Tangisi Saudaraku 6 kali
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab,tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku."Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
(Diterjemahkan dari "I Cried for My Brother Six Times")
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ...Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?
Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga di universitas. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab,tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu,ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku."Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
(Diterjemahkan dari "I Cried for My Brother Six Times")
Label:
Cerita,
Cerita Mengharukan
Langganan:
Postingan (Atom)